Sepercik Pelajaran dari Mudik Lebaran

Oleh Ustadz Adni Kurniawan, Lc.

 

Pada umumnya orang Indonesia rutin pulang ke kampung halaman menjelang ‘Idul Fithri atau Lebaran. Tak peduli betapapun kesulitan dan kesukaran yang dihadapi untuk itu. Berdesak-desakan di kereta, berjubel di bis, kemacetan panjang di perjalanan, sampai menempuh ratusan kilo berbekal sepeda motor dengan risiko kehujanan dan kepanasan, dan hal-hal lain yang tak kalah hebatnya. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan Lebaran di kampung halaman sekaligus untuk ajang silaturrahim terdahsyat dalam setahun bersama sanak keluarga. Seluruh jerih payah itu dilakukan demi terealisirnya satu kata: “pulang”.

Pulang, adalah hal yang dinanti sekaligus merupakan salah satu obat kebahagiaan. Pulang adalah tujuan. Lama tidak pulang dan berada di luar tempat tinggal menimbulkan keresahan dan kegundahan. Contoh sederhana, jika kita berada di kantor beberapa jam lebih lama dibanding biasanya maka kita akan resah dan keinginan untuk pulang menjadi sangat kuat. Betapapun indahnya perjalanan wisata yang kita lakukan, ujung-ujungnya pun kita ingin pulang.

Ada satu temuan menarik yang cukup relevan dengan pembahasan kali ini. Ternyata bayi lebih merasa nyaman jika digendong oleh ibunya pada sisi kiri. Mengapa? Karena detak jantung ibu lebih tertangkap oleh bayi. Detak jantung yang sama yang dulu bayi itu dengarkan sewaktu berada dalam kandungan ibu. Bayi tersebut seakan-akan merasa pulang ke tempat awalnya.

Singkatnya, pada prinsipnya, kita senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal kita. Karena itulah kita sering kangen kepada orang tua, kita rindu kepada kampung halaman, dan lain sebagainya.

Imam Ibnul Qayyim bersyair,

نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى * مَا الْحُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ
كَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَـتَى * وَحَـنِيْنُهُ أَبَدًا لِأَوَّلِ مَنْـزِلِ

Pindahkanlah hatimu sesuai selera
tapi tiadalah cinta melainkan kekasih pertama
Berapa banyak tempat di bumi yang disinggahi pemuda
tapi kerinduannya senantiasa pada persinggahan pertama

Kenyataan yang sebenarnya, kampung halaman dan tempat tinggal kita di dunia ini hanyalah merupakan asal muasal yang bersifat relatif. Tempat tinggal kita yang hakiki akan kita jumpai setelah kematian. Ke negeri akhirat kita akan pulang, dan di sana adalah rumah kita yang sejati. Dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali. Innā liLlāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.

Mungkin, penyebab kegundahan yang terkadang tiba-tiba melanda diri kita, yang kita bingung dari mana asalnya, adalah karena desakan sekeping kerinduan yang terbungkus terhadap kampung halaman kita yang sejati. Kerinduan dalam fithrah manusia yang tertutupi oleh kecohan keindahan dunia yang semu dan fana….

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?!’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Allah).’” (QS. Al-A’rāf [7]: 172)

Terkait dengan penafsiran ayat di atas, kitab-kitab tafsir mencantumkan berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu Allah mengeluarkan seluruh jiwa manusia dari sulbi Adam untuk diambil persaksiannya, sebagaimana dalam ayat (lihat misalnya: Tafsīr Ibn Katsīr). Secara zhahir riwayat, pengambilan persaksian tersebut dilakukan langsung oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Peristiwa tersebut jelas jauh terjadi sebelum kelahiran manusia itu sendiri.

Para psikolog dapat dikatakan bersepakat bahwa apa yang dialami sebelum kelahiran dapat berpengaruh terhadap alam bawah sadar (subconscious) seseorang, meskipun yang bersangkutan tidak mampu mengingat hal-hal tersebut. Sebab, jangankan untuk mengingat peristiwa yang terjadi jauh sebelum kelahiran, peristiwa yang terjadi pada usia kurang lima tahun saja sangat sulit untuk diingat.

Alam bawah sadar memegang peranan krusial dalam diri seseorang. Citra diri, emosi bawaan, dan dasar tingkah laku seseorang mayoritasnya ditentukan oleh alam bawah sadar dibandingkan alam sadar (conscious). Alam bawah sadar juga lebih dominan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Gaya berjalan, berbicara, berpikir, dan lain-lain, lebih ditentukan oleh alam bawah sadar. Karena itulah ahli psikologi menyatakan bahwa pembinaan anak seyogyanya dimulai jauh sebelum anak tersebut lahir, yakni terkait dengan upaya membangun alam bawah sadar sang anak secara baik. Hal ini pun selaras dengan tuntunan syariat Islam.

Lalu apa kaitannya dengan ayat yang disebutkan sebelumnya?

Peristiwa pengambilan persaksian yang dikisahkan dalam ayat di atas merupakan peristiwa maha dahsyat yang pernah dialami oleh manusia. Bagaimana tidak?! Ketika itu jiwa manusia tengah diambil persaksian secara langsung oleh Dzat yang maha kuasa, maha perkasa, maha besar dan maha indah, dimana keindahan semesta raya tidak berarti apa-apa dibanding keindahan-Nya.

Peristiwa pengambilan persaksian maha dahsyat tersebut pada hakekatnya menghujam kuat dalam diri manusia, tidak hanya mempengaruhi alam bawah sadar, bahkan masuk ke dalam fithrah, sehingga termasuk fithrah manusia untuk senantiasa ingin pulang, rindu dan kembali kepada-Nya. Dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita kembali. Innā liLlāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.

Namun, kita sering kali terkecoh. Fithrah dan kerinduan sejati kita untuk kembali kepada-Nya tersebut sering kali tertutup oleh keindahan dunia yang semu dan imitasi. Dunia yang seharusnya hanya kita jadikan sebagai sarana untuk membuktikan sejauh mana kerinduan dan kecintaan kita kepada-Nya justru berbalik menjadi tujuan yang melalaikan kita dari-Nya. WaLlāhu musta’ān.

Akan tetapi, meskipun dengan segala dosa dan kesalahan kita yang menggunung, namun semoga kita senantiasa dapat menjadi orang-orang yang selalu berusaha kembali meniti rindang jalan Ilahi….

Demikian, semoga ada manfaatnya. WaLlāhu a’lam bish shawāb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *