Memberdayakan Perpustakaan Komunitas Sebagai Ujung Tombak Peningkatan Budaya Membaca
Oleh: Andika Hendra Mustaqim. SS.
Ironis dan miris jika kita melihat membaca belum menjadi tradisi yang membudaya di
masyarakat Indonesia, termasuk kaum intelektualnya. Membaca hanya kebutuhan saja. Misalnya
mahasiswa sedang mengerjakan skripsi atau penelitian, maka mereka kerap rajin membaca. Namun,
setelah itu, membaca tidak lagi menjadi kebutuhan. Para ilmuwan berkutat dengan buku jika ada
proyek penelitian. Membaca belum menjadi budaya yang melekat pada kaum intelektual di Indonesia.
Sungguh hal itu merupakan sebuah kemunduran yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia. 65 tahun
sudah Indonesia merdeka. Namun, budaya membaca belum menjadi sebuah tradisi maha agung bagi
masyarakatnya. Padahal, dunia telah mengakui bahwa budaya membaca merupakan tolak ukur yang
paling nyata untuk menyebut bahwa sebuah bangsa itu merupakan bangsa yang maju dan beradab.
“The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read
them” (orang yang tidak membaca buku bagus tak ada bedanya dengan mereka yang tak bisa
membacanya) seperti yang dikemukakan oleh pujangga, Mark Twain. Sebuah penghinaan yang
diungkapkan oleh Mark Twain bahwa meskipun dia adalah seorang intelektual tetapi tidak memiliki
budaya membaca, maka dia disebut sebagai buta huruf. Jika budaya membaca di Indonesia sangat
rendah, bisa jadi Mark Twain menjuluki bangsa Indonesia sebagai bangsa yang buta huruf. Sebuah
penghinaan yang sangat memalukan. Masih rendahnya budaya membaca di Indonesia juga dibuktikan
dengan hasil survei tingkat Human Development Index (HDI) yang dilakukan Lembaga PBB yang
dibentuk untuk menangani masalah pembangunan (United Nations Development Programme/UNDP).
Pada survei yang dilakukan pada 2008, indeks pembangunan manusia menempati urutan 111 dari 179
negara. (http://hdr.undp.org/en/statistics/). Jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, Indonesia
kalah jauh. Thailand menempati urutan ke 87 dan Malaysia berada pada peringkat ke 66. Bagaimana
dengan Singapura? Negara itu berada pada peringkat ke 23.
Sebagai indikator pembangunan manusia, UNDP telah mengembangkan Human Development
Index (HDI) yang mencakup 3 komponen dasar yang secara operasional dapat menghasilkan suatu
ukuran untuk merefleksikan upaya pembangunan manusia di suatu wilayah, yaitu: (1) peluang hidup
(longevity) yang diukur berdasarkan rata-rata usia harapan hidup; (2) akses terhadap pengetahuan
(knowledge) yang diukur berdasarkan prosentase kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat
partisipasi bersekolah yang diperoleh dari rasio gabungan pendaftaran bersekolah dari tingkat sekolah
dasar hingga sekolah lanjutan atas; (3) standard hidup yang layak (decent living) yang diukur
berdasarkan pendapatan per kapita dalam paritas daya beli dalam dollar AS.
Tak bisa dipungkiri memang, budaya membaca menjadi pondasi dasar bagi pendidikan sebuah
bangsa. Adalah sebuah kegagalan dari sebuah sistem pendidikan jika tidak berhasil menciptakan
sebuah generasi yang memiliki budaya membaca. Namun, sistem pendidikan juga didukung berbagai
elemen lainnya yang mendukung proses pencapaian budaya membaca tersebut.
Selain sistem pendidikan nasional yang digawangi pemerintah, memang sangat dipercayai
bahwa peran perpustakaan pun sangat signifikan dalam mendorong budaya membaca bangsa pada
bangsa Indonesia. Perpustakaan merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Perpustakaan juga merupakan pihak yang dianggap bertanggungjawab dalam peningkatan budaya
membaca. Perpustakaan menanamkan budaya membaca. Perpustakaan bukan hanya sekedar tempat
yang menyediakan peminjaman buku. Perpustakaan bukan hanya menjadi ruang untuk membaca buku.
Tetapi, bagaimana seyogyanya perpustakaan menjadi tempat untuk berdialektika dan berwacana dalam
perang pemikiran, membangun perilaku positif, dan mengkonstruksi generasi agar menerapkan budaya
membaca. Jadi, perpustakaan adalah tempat penggemblengan generasi yang tidak memiliki budaya
membaca menjadi generasi tangguh yang menjadikan membaca dalam tradisi kehidupan mereka.
Diharapkan perpustakaan menjadi sebuah ajang kreativitas dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
*
Juara I Lomba Penulisan Artikel Kepustakawanan Indonesia (LPAKI) Tahun 2010
Jurnalis Desk Internasional, Koran Seputar Indonesia
**
Kenapa Harus Perpustakaan?
Dalam Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pasal 1 dijelaskan
bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam
secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan pada pasal 2, dijelaskan bahwa
perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi
untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Dalam buku yang ditulis oleh Darmono
(2007: 3-5) berjudul “Perpustakaan Sekolah; Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja” dijelaskan
dengan gamblang mengenai fungsi perpustakaan. Darmono menganggap bahwa fungsi Perpustakaan,
secara umum kepustakaan mengemban beberapa fungsi umum sebagai berikut: (1) Fungsi informasi,
dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun
koleksi lainnya agar pengguna perpustakaan dapat: (a) mengambil berbagai ide dari buku yang ditulis
para ahli dari berbagai bidang ilmu; (b) menumbuhkan rasa percaya diri dalam menyerap informasi
dalam berbagai bidang serta mempunyai kesempatan untuk dapat memilih informasi yang layak yang
sesuai dengan kebutuhannya; (c) memperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi yang
tersedia di perpustakaan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, (d) memperoleh informasi
yang tersedia di perpustakaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
di masyarakat.
Selanjutnya adalah fungsi pendidikan; dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi
yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya sebagai sarana untuk menerapkan
tujuan pendidikan. Melalui fungsi ini manfaat yang diperoleh adalah (a) agar pengguna perpustakaan
mendapatkan kesempatan untuk mendidik diri sendiri secara berkesinambungan; (b) untuk membangkit
dan mengembangkan minta yang telah dimiliki pengguna yaitu dengan mempertinggi kreativitas dan
kegiatan intelektual; (c) mempertinggi sikap sosial dan menciptakan masyarakat yang demokratis; (d)
memcepat penguasaan dalam bidang pengetahuan dan teknologi baru.
Kemudian adalah fungsi kebudayaan, dimana perpustakaan menyediakan berbagai informasi
yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya yang dapat yang dimanfaatkan oleh
pengguna untuk : (a) meningkatkan mutu kehidupan dengan memanfaatkan berbagai informasi sebagai
rekaman budaya bangsa untuk meningkatkan taraf hidup dan mutu kehidupan manusia baik secara
individu maupun secara kelompok; (b) membangkit minat terhadap kesenian dan keindahan, yang
merupakan salah satu kebutuhan manusia terhadap cita rasa seni; (c) mendorong tumbuhnya kreativitas
dalam berkesenian; (d) mengembangkan sikap dan sifat hubungan manusia yang positif serta
menunjang kehidupan antar budaya secara harmonis; (e) menumbuhkan budaya baca di kalangan
pengguna sebagai bekal penguasaan alih teknologi.
Perpustakaan juga memiliki fungsi rekreasi, dimana perpustakaan menyediakan berbagai
informasi yang meliputi bahan tercetak, terekam maupun koleksi lainnya untuk: (a) menciptakan
kehidupan yang seimbang antara jasmani dan rohani; (b) mengembangkan minat rekreasi pengguna
melalui berbagai bacaan dan pemnafaatan waktu senggang; (c) menunjang berbagai kegiatan kreatif
serta hiburan yang positif. Tidak ketinggalan, perpustakaan juga memiliki fungsi penelitian, sebagai
fungsi penelitian perpustakaan menyediakan berbagai informasi untuk menunjang kegiatan penelitian.
Informasi yang disajikan meliputi berbagai jenis dan bentuk informasi, sesuai dengan kebutuhan
lembaga. Terakhir adalah fungsi deposit; sebagai fungsi deposit perpustakaan berkewajiban
menyimpan dan melestarikan semua karya cetak dan karya rekam yang diterbitkan di wilayah
Indonesia.
Melihat hal tersebut, jelas sekali bahwa perpustakaan bukan tempat yang angker. Memang
mitos di kalangan pelajar dan mahasiswa, bahwa perpustakaan merupakan tempat yang sepi dan
angker. Perpustakaan hanya sebagai tempat untuk melakukan hal-hal serius saja. Padahal, perpustakaan
adalah sebuah lembaga yang juga memberikan hiburan dan rekreasi kepada pengunjungnya, hanya saja,
perpustakaan identik dengan institusi pendidikan. Sedangkan pendidikan harus berkaitan dengan siswa
dan mahasiswa. Padahal, pendidikan tak mengenal waktu. Bagi mereka yang sudah tak terikat dengan
dunia pendidikan, maka sudah barang tentu sering menjauhi perpustakaan.
Perpustakaan Komunitas; Jangan Hanya Jadi Tren
Oleh sebab itu upaya untuk mengangkat program peningkatan minat dan kegemaran membaca
perlu melibatkan unsur-unsur berikut ini: (a) anak didik pada semua jenjang SD dan SLTP, SLTA; (b)
guru sekolah, (c) sekolah dengan berbagai program kegiatan yang dapat menunjang pengkondisian
tumbuhnya minat dan kegemaran membaca; (d) orang tua di rumah; (e) lingkungan masyarakat di luar
sekolah dan rumah; dan (f) lembaga-lembaga masyarakat. (Darmono:2007; 217).
Penulis sangat sependapat dengan Darmono. Dimana dibutuhkan semua elemen masyarakat
untuk urun rembug dalam peningkatkan budaya. Bukan hanya satu pihak saja yang dianggap
bertanggungjawab, tetapi semua pihak harus memberikan kontribusi yang matang.
Jelas sekali bahwa lingkungan masyarakat di luar sekolah dan rumah dan lembaga-lembaga
masyarakat memiliki peran serta dalam meningkatkan budaya membaca. Kontribusi mereka akan
nampak jika mendirikan perpustakaan komunitas sehingga turut andil dalam membantu pemerintah.
Peran serta mereka juga tidak dapat dipandang remeh karena mereka merupakan pendukung yang
mendukung karena sebagian besar manusia hidup dalam lingkungan mereka.
Sebenarnya, solusi untuk tetap mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat adalah
membuat perpustakaan komunitas. Kenapa harus perpustakaan komunitas? Perpustakaan komunitas
lebih dekat baik secara fisik yakni kedekatan lokasi dengan masyarakat. Perpustakaan komunitas juga
lebih dekat secara batin karena dikelola dengan manajemen kemasyarakatan sehingga tidak terlalu
birokratis dan tidak banyak aturan serta pengekangan.
Perpustakaan komunitas tidak dijelaskan dalam UU Perpustakaan. Namun, menurut penulis,
perpustakaan komunitas digolongkan kepada perpustakaan khusus yang dijabarkan dalam hukum
tertulis tersebut. Pada Pasal 25 UU No 43 tahun 2007 itu dijelaskan bahwa perpustakaan khusus
menyediakan bahan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pemustaka di lingkungannya. Pemerintah
juga ikut membantu perkembangan perpustakaan komunitas seperti tersurat dalam Pasal 28 dengan
bunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan berupa pembinaan teknis, pengelolaan,
dan/atau pengembangan perpustakaan kepada perpustakaan khusus”.
Ini menjadi sangat jelas bahwa pemerintah juga berkewajiban untuk membantu perkembangan
perpustakaan komunitas. Meski, perpustakaan komunitas tetap tidak terikat dengan pemerintah.
Bantuan pemerintah sangat diperlukan untuk memberdayakan dan meningkatkan peran serta
perpustakaan komunitas dalam pembangunan bangsa.
Menurut Stian Haklev (2008) dalam hasil penelitian yang berjudul “Mencerdaskan Bangsa –
Suatu Pertanyaan Fenomena Taman Bacaan di Indonesia” mengungkapkan bahwa perpustakaan
komunitas diselenggarakan terutama bagi diri komunitas itu sendiri yang disesuaikan dengan
kebutuhan dalam upaya memberdayakan dirinya. Pendekatan dalam pembangunan perpustakaan yang
dilakukan oleh masyarakat atau komunitas itu tidak lagi dilakukan secara struktural dan birokratis
melainkan melalui pendekatan kultural yang cair. Pengelolaan perpustakaan komunitas lebih bersifat
independen, dalam arti tidak bergantung pada pemerintah, terutama pada masa awal keberadaannya
dengan slogan dan semangat budaya perlawanan atau do it yourself.
Menurut penulis, sungguh menarik bahwa dasar dari perpustakaan komunitas ada unsur
pemberontakan. Para pengelola perpustakaan komunitas ingin membuat suatu gerakan yang ingin
melawan paradigma mengenai perpustakaan yang selama ini telah tertanam di masyarakat.
Perlawanan itu bersifat positif karena mereka menganggap bahwa mereka adalah pihak yang
paling mengetahui siapa sebenarnya komunitas mereka. Itu pun tidak salah. Karena pada dasarnya,
dalam niat mereka tertanam bahwa mereka ingin memberikan kontribusi lebih bagi komunitas mereka.
Tentunya dengan cara mereka sendiri.
Dalam sebuah buku bertajuk “Perpustakaan dan Masyarakat” yang ditulis oleh Sutarno NS
(2006: 67) dijelaskan mengenai sebuah perpustakaan di dalam suatu komunitas masyarakat karena hal-
hal sebagai berikut: pertama, adanya keinginan yang datang dari kalangan masyarakat luas untuk
terselenggaranya perpustakaan, karena mereka yang membutuhan; kedua, adanya keinginan dari suatu
organisasi, lembaga, atau pemimpin selaku penanggungjawab institusi di suatu wilayah untuk
membangun perpustakaan; ketiga, adanya kebutuhan yang dirasakan oleh kelompok masyarakat
tertentu tentang pentingnya sebuah perpustakaan; keempat, diperlukannya wadah atau tempat yang bisa
untuk menampung, mengolah, memelihara dan memberdayakan berbagai hasil karya umat manusia
dalam bentuk ilmu pengetahuan, sejarah penemuan, budaya dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengalaman dan observasi, penulis mengerucutkan bahwa perpustakaan
komunitas memiliki lima prinsip yang menjadi fondasi. Jika fondasi itu terus dipertahankan dan
dipupuk akan akan menjadi sebuah perpustakaan komunitas yang memiliki peran yang maksimal.
Pertama, perpustakaan komunitas adalah bentuk inisiatif dari masyarakat atau komunitas
untuk saling membantu dan tolong menolong untuk mewujudkan akses buku yang mudah diakses.
Ketika ada inisiatif, maka di situ ada niat baik. Selanjutnya adalah konsistensi dalam melanjutkan
inisiatif. Salah satu penyakit perpustakaan komunitas adalah inkonsistensi. Biasanya hanya
perpustakaan komunitas sangat atraktif dan aktif pada awal-awal pendiriannya, namun selang beberapa
terkendala oleh beberapa hal termasuk dana, inkonsitensi pengurus, monoton karena tidak ada kegiatan,
dan diorientasi.
Kedua, perpustakaan komunitas menjadi ajang eksistensi dan jati diri sebuah organisasi atau
kelompok masyarakat tertentu dengan tujuan pemberdayaan anggotanya. Tak bisa dipungkiri jika
setiap komunitas, kelompok masyarakat atau pun organisasi tertentu selalu mengedepankan eksistensi.
Eksistensi itu dilakukan bukan hanya dengan mengibarkan bendera kelompok mereka tetapi salah
satunya dengan perpustakaan. Dengan perpustakaan, maka jalinan antara anggota pun akan semakin
erat.
Ketiga, perpustakaan komunitas adalah ajang untuk pengembangan kreativitas masyarakat
dengan membaca buku dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti diskusi, bedah buku, dan
workshop yang disesuaikan dengan kebutuhan anggotanya. Menariknya lagi jika perpustakaan
komunitas dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Itu sangat menarik
karena perpustakaan menjadi tempat belajar seperti Kejar Paket A, B dan C.
Perpustakaan juga dapat bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan pelatihan
kewirausahaan, misalnya membuat kue, manajemen bisnis, dan pelatihan montir mobil serta sepeda
motor. Jika perpustakaan komunitas memiliki berbagai kegiatan, maka anggotanya pun akan terikat dan
semakin aktif. Salah satu penyebabnya banyaknya perpustakaan komunitas yang tidak langgeng karena
tidak adanya kegiatan yang menarik bagi anggotanya.
Keempat, perpustakaan komunitas memiliki prinsip idealisme yakni ikut membudayakan
tradisi membaca di kalangan masyarakat. Misi tersebut adalah misi mulia yang harus dimiliki oleh
seluruh perpustakaan. Tapi misi untuk membudayakan membaca, maka itu bukanlah perpustakaan.
Namun, perpustakaan komunitas kerap terjebak dengan paradigma tradisional dalam mengembangkan
budaya membaca. Mereka kerap hanya menyediakan buku-buku semata. Padahal, peningkatan budaya
membaca bukan hanya identik dengan buku.
Paradigma perpustakaan komunitas modern yakni melakukan pendekatan people to people
sehingga terjalin emosional yang solid. Dengan pendekatan tersebut, maka akan terjalin kepercayaan
sehingga memudahkan kelangsungan perpustakaan komunitas.
Selain itu, perpustakaan komunitas juga harus akrab dengan teknologi informasi. Banyaknya
perpustakaan komunitas yang tak bertahan usianya karena tidak menyesuaikan teknologi. Mereka
ditinggal anggotanya. Jika ingin mendekatkan teknologi, perpustakaan komunitas membutuhkan biaya
besar.
Kelima adalah jaringan. Di sinilah, perpustakaan komunitas mampu menggaet pemerintah
atau pun program coorporate social responsibility ikut membantu operasional mereka. Untuk
memasuki jaringan tersebut, maka perpustakaan komunitas pun harus masuk ke jaringan perpustakaan
yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dengan jaringan tersebut, maka
pengelolaan perpustakaan akan menjadi lebih mudah dan banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak.
Jika kelima prinsip tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh perpustakaan
komunitas, kemungkinan mereka akan eksis dan anggotanya akan semakin fanatik. Pasalnya, anggota
perpustakaan mendapatkan sesuatu yang berbeda dari perpustakaan yang tidak didapatkan dari tempat
lainnya.
Mengemas Ulang Perpustakaan Komunitas
Untuk bertahan dengan kafe, dan warung internet, serta menyadarkan kembali masyarakat,
mau tak mau perpustkaan komunitas harus berubah. Perubahan memang merupakan hal yang sangat
sulit. Tetapi, jika tidak ada perubahan maka akan selalu tertinggal. Apalagi, perpustakaan komunitas
adalah lembaga nirlaba.
Tujuan utama mengemas ulang perpustakaan komunitas adalah memberdayakannya sebagai
sebagai unjung tombak peningkatan budaya baca masyarakat. Pengemasan itu dilakukan dalam
beberapa tahap dan beberapa proses demi tercapainya perpustakaan komunitas yang memiliki daya
saing tinggi serta kompetitif dengan persaingan dengan kafe dan pusat perbelanjaan.
Beberapa perubahan yang harus dilakukan adalah promosi perpustakaan komunitas. Menurut
Darmono (2007; 208), perpustakaan sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang jasa tentunya dapat
mengadopsi prinsip-prinsip promosi dalam bidang kegiatannya. Tujuan promosi perpustakaan
sebenarnya adalah untuk memperkenalkan perpustakaan, koleksi, jenis koleksi yang dimiliki,
kekhususan koleksi, jenis layanan dan manfaat yang dapat diperoleh pengguna perpustakaan. Melalui
kegiatan promosi diharapkan masyarakat mengetahui pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan
sehingga membuat mereka tertarik dan mengunjunginya.
Sebenarnya secara sadar atau tidak, pustakawan sudah melakukan kegiatan promosi, akan
tetapi kegiatan yang mereka lakukan kebanyakan tidak terencana, karena memang kegiatan ini bukan
tujuan utama mereka. Seperti halnya melakukan pameran buku baru, peningkatan kualitas layanan,
penampilan citra perpustakaan merupakan aspek-aspek kegiatan promosi yang sudah diterapkan di
perpustakaan, meskipun dilakukan secara tidak sadar tadi. (Darmono: 2007; 2008).
Metode memamerkan jasa perpusataan baik dengan menggunakan bantuan alat elektronik
maupu yang tidak menggunakan bantuan peralatan elektroniok, sebagai berikut: (1) nama dan logo; (2)
poster dan leaflet; (3) pameran; (4) press realease; (5) siaran radio; (6) ceramah; dan (7) iklan.
(Darmono: 2007; 210-213).
Menurut penulis, perpustakaan komunitas harus dapat melaksanakan metode perpustakaan
yang dikemukakan oleh Darmono. Yang paling efektif adalah menjalin komunikasi dengan radio
komunitas yang telah memiliki pendengar dan pasar telah pasti. Kemudian, perpustakaan juga dapat
membuat leaflet atau buletin yang berisi informasi kepada pelanggan setianya.
Setelah promosi, dalam buku berjudul “Inside, Outside, and Online: Building Your Library
Community” karya besar Hill Chrystie (20090 mengutip pendapat Menurut Profesor Joe Jones dari
University of Washington iSchool mengemukakan bahwa apa yang dimaksudkan perpustakaan adalah
Adanya barang atau buku, tempat, pelayanan, interaksi, dan nilai-nilai. (Hill:2009; 20)
“Think outside the box! Don’t get hemmed in by thingking things aren’t “what libraries do.”
We don’t just provide books or internet service – we help the community. And we can do that in more
ways than we’re use to doing (Mary Doud, Deputy Director, Kalamazoo Public Library, Michican
dalam Hill: 2009;22)
Apa yang diungkapkan Mary Doud adalah benar adanya. Apalagi sesuai dengan konteks
perkembangan perpustakaan komunitas di Indonesia. Doud mengajak para pengurus perpustakaan
komunitas untuk berpikir di luar konteks atau kelaziman. Dia mengajak agar pengurus perpustakaan
tidak hanya menyediakan buku atau internet. Dia menggarisbawahi bahwa perpustakaan juga
membantu komunitas.
“Kita menemukan bahwa pelayanan perpustakaan yang memiliki komunitas mengijinkan para
pustakawan secara sistematis untuk mengevaluasi dan memberikan pelayanan berulang kali untuk
memenuhi keinginan individu dan komunitas. Pendek kata, pendukung kita dan komunitas harus
dilayani dengan baik dan harus dijalin komunikasi, itulah tugas perpustakaan.” (Hill:2009;22-23)
Hill (2009: 22-23) pun menggelar survei, wawancara, dan mengunjungi ratusan pustakawan
untuk belajar bagaimana mereka membangun komunitas mereka di dalam perpustakaan. Ternyata
mereka menjalankan prinsip-prinsip prediksi, penyampaian, pendekatan, pengulangan atau evaluasi,
dan mempertahankan.
Pertama adalah prediksi. Di dalamnya ada pemahaman mengenai kebutuhan utama pelanggan
dan itu menjadi pelayanan utama perpustakaan yang fokus terhadap komunitas. Penilaian kebutuhan itu
memainkan peranan signifikan agar terjadi kesesuaian antara pelayanan perpustakaan dan kebutuhan
komunitas. (Hill:2009;23).
Kedua adalah penyampaian. Komponen ini melibatkan pelayanan strategi terhadap basis
komunitas sesuai dengan kebutuhan utama mereka. Elemen ini termasuik perencanaan strategi,
pengembangan koleksi, pelayanan program dan pengembangan, serta manajemen sumber daya.
Kemudian, memperhatikan pengalaman para anggota perpustakaan dan mengadaptasi sesuai dengan
keinginan komunitas. (Hill:2009;23).
Ketiga adalah pendekatan. Komponen ini meliputi berkomunikasi langsung dan melayani
komunitas secara efektif. Komunikasi meliputi pesan-pesan mengenai perpustakaan, misi kita, dan
penawaran kita. Itu juga termasuk komunikasi yang terus berjalan dengan para anggota dan
diterimanya umpan dari mereka dalam hal persepsi, pemahaman, dan pengalaman. (Hill:2009;24).
Keempat adalah pengulangan atau evaluasi. Evaluasi merupakan kunci untuk mengetahui
apakah kita telah melakukan tujuan kita untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan.
Dari “Kepercayaan penuh” dan “standar perpustakaan”, tetapi dengan evaluasi dan prediksi
perpustakaan untuk mengetahui dampak atau hasil pelayanan terhadap komunitas. (Hill:2009;24).
Kelima adalah mempertahankan. Menganggap bahwa implikasi jangan panjang dan medium
dari pelayanan menjadi kunci dari apa yang disebut dengan “bukti masa depan” perpustakaan. Pendek
kata, jika Anda ingin tetap dapat diakses, fleksibel, dan mudah beradapatasi maka pelayanan
perpustakaan harus relevan dan selalu memenuhi kebutuhan anggota, dan ibarat feshyen selalu
mengikuti mode. (Hill:2009; 25).
Penulis berpendapat, jika perpustakaan komunitas menerapkan kelima hasil penelitian yang
dilakukan Hill, maka perpustakaan mereka akan selalu dinanti oleh para anggotanya. Dibutuhkan
proses yang cukup matang untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut pada perpustakaan komunitas.
Dibutuhkan pelatihan dan pemahaman lebih dalam mengenai prinsip tersebut hasilnya lebih
memuaskan.
Menurut Andy Barnett (2002) dalam bukunya berjudul “Libraries, community, and
technology” memaparkan perpustakaan memiliki tiga kekuatan utama yang menunjukkan seperti apa
sebenarnya perpustakaan itu. Barnett menjelaskan ketiga kekuatan tersebut dengan detail.
Pertama, perpustakaan sebagai lembaga publik memiliki misi sosial yang bersejarah. Fase
teknologi telah mengacaukan misi tersebut, apalagi kebanyakan pengelola telah mengetahui apa yang
seharusnya mereka lakukan. Misi mereka pun telah menjadi strategi besar perpustakaan. (Barnett:
2002; 6)
Kedua, kepustakawanan telah mengajarkan serangkaian nilai yang memandu langkah-langkah
para pustakawan. Saat ini, nilai-nilai itu tersebut berubah dan mendatanya pun berujung kepada
kebuntuan tetapi yang lebih penting adalah mengabaikan aspek terpenting dari nilai-nilai tersebut.
Aspek terpenting itu adalah membuat pendekatan bagi orang-orang yang aktif dalam perpustakaan dan
mengimplemetasikan misi. (Barnett: 2002; 6)
Ketiga, perpustakaan dikenal karena masyarakat menginginkan sesuatu dari sebuah
perpustakaan yakni pelayanan yang mapan dan tidak mahal. Kemudian adanya aplikasi tegas dianggap
sebagai taktik bagi anggota perpustakaan untuk memenuhi misi yang juga bertujuan untuk menarik
perhatian pasar. (Barnett: 2002; 6)
Bagaimana pun juga, masyarakat tetap mengandalkan perpustakaan, terutama perpustakaan
komunitas karena tidak ada biaya dan relatif lebih murah dibandingkan mereka harus pergi ke toko
buku. Seyogyanya perpustakaan komunitas harus menjadi tempat rakyat untuk mengakses ilmu
pengetahuan. Hingga tujuan utama perpustakaan komunitas menjadi ujung tombak peningkatan budaya
membaca perpustakaan pun tercapai. Caranya adanya pelaksanaan berbagai prinsip yang telah dijelas
tersebut sehingga ada parameter dan acuan dimiliki perpustakaan komunitas. Satu hal yang harus ada
perpustakaan komunitas adalah konsistensi dalam melaksanakan prinsip-prinsip tersebut.
Referensi:
Barnett, Andy. 2002. Libraries, community, and technology. NOrth Carolina: McFarland and
Company, Inc
Darmono. 2007. Perpustakaan Sekolah; Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja. Jakarta:
Grasindo
Hill, Chrystie. 2009. Inside, Outside, and Online: Building Your Library Community. Chicago:
American Library Association
Sutarno NS. (2008). Membina Perpustakaan Desa. CV. Jakarta: Sagung Seto.
Ibid (2006). Perpustakaan dan Masyarakat. CV. Jakarta: Sagung Seto.
Stian Haklev: 2008. Mencerdaskan Bangsa – Suatu Pertanyaan Fenomena Taman Bacaan di Indonesia.
University of Toronto at Scarborough
Tilaar, HAR. 1998. Magelang: Penerbit Tera Indonesia
Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
* Penulis merupakan dosen di Bina Sarana Informatika dan STBA Nusa Mandiri. Selain mengabdikan
diri di dunia pendidikan, penulis berkerja sebagai Jurnalis Harian Seputar Indonesia di desk
internasional. Penulis juga merupakan anggota aktif dari Perpustakaan Nasional RI dengan nomer
0907-09343 U.
Leave a Reply