Menata Keikhlasan Hati Menjelang Berhaji
Oleh Damanhuri Zuhri
Tak lama lagi, sekitar 211 ribu umat Muslim dari Tanah Air akan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Kini, para jamaah mulai mempersiapkan segala sesuatu terkait pelaksanaan haji.
Selain harus melunasi ongkos yang telah ditetapkan dalam jangka waktu satu bulan setelah Perpres BPIH 2012, calon jamaah pun mempersiapkan persyaratan lainnya, seperti membuat paspor dan persyaratan kesehatan, seperti divaksin meningitis.
Selain memenuhi persyaratan administratif, para jamaah pun tak boleh melupakan persiapan hati. Sebab, menurut Ustaz Qosim Sholeh, ibadah haji tak hanya membutuhkan persiapan fisik dan finansial serta ilmu manasik saja.
‘’Tetapi lebih dari itu, sangat membutuhkan persiapan hati, iman dan takwa,’’ tutur Ustaz Qosim. Untuk itu, kata dia, calon jamaah haji, sangat penting untuk mengendalikan dan mengelola gejolak emosi yang setiap saat bisa menghantui dan mendominasi perasaannya. Kata dia, padatnya manusia di padang Arafah, akan menciptakan suasana yang tak normal.
Zaim Said, direktur Wakalah Induk Nusantara, menuturkan, ibadah haji memang menjadi impian setiap Muslim. Menurutnya, yang mesti dipahami bahwa ibadah haji merupakan perjalanan spiritual, tapi diejawantahkan dalam perjalanan fisik. Ia mengatakan, setiap calon jamaah harus menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada syariat dan hakikat.
Syariatnya, papar dia, perjalanan fisik itu harus ditempuh dengan cara tertentu dan ritual tertentu. Menurutnya, ibadah haji adalah puncak dari perjalanan spiritual yang diwujudkan secara fisik. ‘’Harus dipahami perjalanan ibadah haji bukanlah suatu perjalanan yang mudah. Jangan orang berpikir, naik haji itu mau nyaman, mau santai dan mau piknik. Sebab, perjalanan haji bukanlah piknik dan bukan pula turisme,’’ ujarnya menegaskan.
Zaim menuturkan, jika hal itu disadari oleh setiap calon jamaah, maka mereka harus mempersiapkan diri secara fisik maupun mental dan spiritual. Sehingga, setiap Muslim yang akan naik haji bisa menghayati makna rukun Islam kelima itu.
Menurutnya, memiliki uang saja tak cukup untuk menunaikan ibadah haji. ‘’Karena kalau cuma punya uang, orang bisa berkali-kali pergi haji. Tapi yang harus dipahami, bukan karena dia punya uang lantas setiap tahun dia bisa berangkat naik haji, bukan itu,’’ Zaim mengingatkan.
Ustaz Qosim menambahkan, pada saat menunaikan ibadah haji akan terjadi gesekan-gesekan fisik yang berimplikasi pada timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi ketika sedang berada di Arafah, fasilitas yang tersedia amat terbatas dan bahkan bisa dikatakan tak layak. Jumlah toilet dengan jamaah pun tak sebanding.
‘’Karena tempat terbatas, maka akan timbul gesekan-gesekan, antre panjang, sehingga bisa menonjolkan egosentris dan kepentingan pribadi masing-masing,’’ papar Ustaz Qosim. Di sinilah, jamaah haji perlu menanamkan nilai-nilai kesabaran yang tinggi.
Seorang jamaah haji dituntut memiliki keluhuran moral, kesantunan berbicara dan kearifan bertindak. Semua itu, tutur Ustaz Qasim, adalah akumulasi dari perintah Allah SWT dalam Alquran. Menurutnya, kemampuan untuk mengendalikan diri, memenej yang ada dalam diri merupakan keharusan yang harus dilakoni dan dilaksanakan oleh semua calon tamu Allah SWT.
Setiap jamaah haji merupakan delegasi resmi dan duta-duta Allah yang seharusnya mengerti dan memahami seluk beluk protokoler ke-Ilahian. Apa saja protokoler-protokoler ke-Ilahian itu? ‘’Seperti yang saya katakan tadi, dalam Alquran juga dijelaskan, ‘musim-musim haji telah ditentukan waktunya barangsiapa berniat untuk melaksanakan ibadah haji.’’
Untuk menjadi delegasi resmi tamu Allah SWT, papar Ustaz Qosim, seorang calon jamaah harus mengindahkan larangan-larangan inti dan pokok yaitu; pertama, tidak boleh berucap hal-hal yang akan membuat dorongan biologis bisa bangkit. Kedua, tak boleh berperilaku yang bisa menyebabkan orang lain bisa terpancing.
Ketiga, jangan berdebat kusir, sehingga dapat menyebabkan hal-hal yang sepele bisa menjadi besar, dan hal-hal yang substansial bisa disepelekan.
”Inilah ritual haji yang setiap calon jamaah haji perlu mengerti, memahami serta menjiwai. Sehingga, sebagai duta-duta resmi Allah, kita bisa melaksanakan apa yang diinginkan oleh Sang Khalik. Nah, untuk itu diperlukan persipan fisik, materi dan yang lebih penting lagi persiapan immaterial,’’ papar kandidat doctor dari salahsatu universitas di Malaysia itu.
Rasulullah SAW pun telah meminta umatnya agar mencontoh cara berhaji yang pernah dilakukannya. Menurut Ustaz Qosim, ibadah haji yang dilakukan Rasulullah bukan sekadar ibadah mahdhah, bukan sebagai ritual yang diwajibkan kepada mereka yang mampu secara fisik dan ekonomi.
‘’Tapi jauh dari itu, pelaksanaan ibadah haji lebih menekankan pada nilai-nilai pascaibadah haji,’’ ujar Ustaz Qosim. Setelah pulang dari haji, semestinya seorang Muslim bisa steril dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh Allah SWT. Lebih dermawan, serta makin peduli pada sesama dan lingkungan. Inilah makna haji.
Leave a Reply